Brrrmm...
Brrrmm... “Tiga, dua, satu!”
Kopling mulai dilepas, gas ditarik, beberapa diantaranya
melakukan standing. Motor-motor
melesat cepat, melintasi jalanan yang telah ditentukan treknya, menerobos celah antara mobil-mobil yang ikut melintas pada
malam itu.
Difa dan teman-temannya melaju dengan cepat, melewati
kendaraan besar seakan tak takut mati. Sepuluh menit mereka menantang maut,
beraksi diatas jalanan dengan 600cc,
hingga akhirnya berhenti di tempat awal mereka ‘start.’
“Gimana bro?”
Bertanya pemilik CBR itu.
“Oke lah, untuk akhir tahun lima belas juta aja.” Difa menghela nafasnya untuk
menenangkan dirinya karena mendengar ucapan orang itu.
“Polisi! Polisi! Mereka datang!” Teriak salah seorang
anggota geng itu dari kejauhan.
Semua pemuda di tempat itu panik. Dengan segera mereka
menunggangi motor mereka, kecuali Difa dan empat orang temannya.
“Ditunggu hingga tahun baru, tinggal hubungi aja!”
“Yo i bro!”
Jawab Difa dengan lantang sambil berlari bersama teman-temannya menuju
alang-alang lebat yang menjadi jalan pintas antara sebuah pasar dengan jalan
raya.
Lima meter sebelum mereka masuk ke dalam alang-alang yang
tengah mereka capai dengan berlari cepat, terlihat polisi berada di tempat
perkumpulan mereka tadi, sedangkan geng itu telah melesat jauh ke arah barat.
Salah seorang polisi melihat mereka, “Hai! Kalian!”
Difa menoleh ke belakang sejenak dan terus berlari hingga
masuk ke dalam alang-alang itu.
“Hai baju merah, aku melihatmu!” Teriak polisi itu.
Mereka terus berlari dan berlari. Difa dan empat orang
temannya tiba di sebuah pasar. Nafasnya yang terengah-engah membuat mereka
berhenti dan beristirahat sejenak di sebuah bangku di depan warung kecil yang
telah tutup. Pasar yang pada siang hari penuh dengan para penjual dan pembeli,
malam itu begitu sunyi. Hanya terdengar suara kibaran triplek yang dihembus
angin dan kendaraan yang melintas di jalan raya yang jauh di seberang
alang-alang sana.
“Dif, polisi itu tadi melihatmu?” Tanya Mugi, teman Difa
yang memiliki postur yang besar dan berkulit sawo matang.
“Yaaa, tadi itu hanya melihat bajuku, dia bilang begitu
supaya kita takut.” Jawab Difa dengan remehnya.
Sepuluh menit mereka habiskan di bangku itu. Tidak tampak
pada mereka rasa khawatir akan polisi dan orang tua yang mencarinya ataupun kegelapan
dan kesunyian malam itu.
“Bayangkan! Lima belas juta dua hari! Apa itu nggak gila bagi kita?” Ucap Difa.
Mereka memikirkan cara untuk mendapatkan uang senilai
itu, namun tak muncul ide sedikitpun. Kemudian mereka memutuskan untuk pulang
ke rumah masing-masing yang tak begitu dekat dengan pasar itu.
***
Tibalah Difa di depan rumahnya. Tak terdengar suara
apapun dari dalamnya. Dibukanya pintu secara perlahan, dilewatinya tanpa ada
suara, langkah demi langkah dilakukannya dengan tenang, dilewatinya pintu kamar
orang tuanya, terus maju menuju kamarnya.
Tiba di hadapan pintu kamarnya, datang seseorang dari
belakang, “Difa!”
Dengan terkejut ia menoleh ke belakang. Plak! Beradulah telapak tangan dengan
pipi.
“Ibu belum tidur?” Tanya Difa dengan gugupnya.
“Gimana mau
tidur? Kamu baru pulang saat tengah malam seperti ini. Lihat! Lihat jam berapa
sekarang?” Dibentaknya langsung.
Difa hanya menunduk dan masuk ke kamarnya, “Difa!
Dengarkan! Mau jadi apa kamu? Anak jalanan? Sekolah nggak becus, skors hampir setiap hari, pulang tengah malam, untuk
apa kamu disekolahkan?”
“Ya, untuk apa? Untuk apa sekolah di SMP terbuka yang
jelek itu? Masih mending sekolah di SMP swasta di depan sana!” Dibalasnya
bentakan ibunya.
“Sadarlah Dif! Lihatlah! Kita tinggal di rumah berdinding
kayu ini juga seharusnya kamu bersyukur. Apa kamu nggak punya hati? Ayahmu setiap hari bekerja keras. Dipinjamkannya
motor oleh tetangga untuk ayahmu bekerja juga sudah beruntung, kita masih bisa
hidup dari itu.” Dibalasnya lagi dengan keras bercampur sedih.
Difa hanya menunduk. Omelan ibunya telah menjadi makanan
sehari-harinya. Setelah perang mulut itu berhenti, suasana malam itu menjadi
sunyi lagi seperti semula.
***
Pagi telah tiba. Difa dan keempat temannya berkumpul di
sebuah pos keamanan. Mereka mulai memikirkan lagi hal itu. Hingga ambang batas
pemikiran mereka, mereka tidak menemukan cara lain selain melakukan hal itu.
“Nggak ada
cara lain, mungkin tidak apa-apa lah untuk tahun ini.” Terang Ateng,
bocah dengan perawakannya yang sedikit kurus dan berkulit kuning langsat.
Mereka segera menuju pasar. Tanpa basa-basi, mereka
langsung berpencar, menuju sasaran mereka masing-masing.
Sasaran Difa kali ini adalah ibu-ibu yang sedang asyik
memilih apel di sebuah toko buah. Difa segera memulai aksinya. Berjalanlah ia
dengan tenang, dengan maksud supaya tidak ada yang mencurigainya. Terus
mendekat, hingga ia tepat berada di belakangnya. Permainan tangannya ia lakukan
dengan cepat, hingga ibu itu tak sadar akan dompetnya yang kini tidak lagi
berada di dalam tasnya yang ia kalungkan di bahu kirinya. Difa terus berjalan
dengan tenang, mencari sasaran untuk aksi yang selanjutnya.
Sasaran keduanya adalah kerumunan orang-orang yang sibuk
tawar-menawar di sebuah demo peralatan masak. Aksinya ini berjalan dengan
mulus. Ia kembali ke markasnya.
***
Hingga beberapa menit, Difa dan keempat temannya
berkumpul, menghitung hasil aksi mereka. Diperolehnya beberapa juta.
“Lumayan, untuk
hari pertama.” Ujar Difa.
Terik semakin panas. Mereka berjalan meninggalkan markas
mereka, bercanda-tawa, saling menumpahkan kesan saat melakukan aksi mereka. Tak
lama kemudian, tiba mereka di sebelah pasar. Terdengar ada sedikit keributan
dari orang-orang di pasar. Mereka terus melewatinya sambil nguping setiap pembicaraan para penjual & pembeli.
Dilaluinya hingga mereka jauh dari
keramaian pasar.
“Gila, ada pencopetan besar!” Seru Angga, teman Difa yang
berkaca mata.
“Siapa lagi kalau bukan kita?” Bisik Roni, teman Difa
yang berpenampilan punk.
Setelah kehebohan itu habis, rasa takut mulai menyerang
mereka. Mereka segera pulang ke rumah masing-masing.
***
Keesokan harinya, mereka berkumpul lagi di markas mereka.
Tanpa diketahui Difa, keempat temannya ternyata telah memutuskan untuk tidak
melanjutkan aksinya, semenjak keributan hari itu. Terjadilah perdebatan antara
Difa dan keempat temannya.
“Akhir tahun ini harusnya buat perubahan. Pokoknya kami
berhenti. Risiko tanggung sendiri. Kami takut.” Seru Mugi.
Berlalulah mereka meninggalkan Difa. Kini tak ada seorang
pun di tempat itu kecuali Difa. Ia hanya terdiam, merenung, dan membuat tekad
baru.
“Akan ku tunjukkan kepada kalian semua!” Begitulah tekad
Difa dalam hati. Langsung ia bergerak menuju pasar.
Disana terlihatlah seorang pemudi sedang berjalan. Difa
terus mengikutinya, mendekatinya, dan bersiap mengeluarkan kelihaian tangannya.
Dilakukanlah aksinya itu.
“Eh.” Dirasakan oleh pemudi itu ada yang menyenggolnya.
Sungguh tak diinginkan, aksinya ini tak berjalan dengan
lancar. Ia langsung lari terpontang-panting.
“Copet! Copet!” Teriak pemudi itu.
Kejadian itu membuat perhatian penduduk pasar terfokus pada
pencopet itu. Penduduk pasar yang ada di sekitar itu mengejarnya. Difa terus
berlari.
Keributan penduduk itu terus mengikutinya dari belakang.
“Copet! Copet!”
Difa semakin dekat dengan pintu gerbang pasar. Namun
disana ada seorang pria besar berpakaian cokelat yang berdiri dengan tegapnya
menghadap Difa.
“Polisi!” Dalam hatinya ia takut.
Tak ada cara lain selain terus maju. Difa terus berlari
dan berlari, semakin dekat dengan dengan pria itu.
Buk!
Buk! Buk! “Oaa...” Difa
kesakitan. Ia jatuh pingsan.
***
Beberapa jam ia tak sadar. Difa mulai membuka matanya.
Dilihatnya besi-besi hitam, ruangan yang gelap dan sepi.
“Hah!” Jantungnya berdegub kencang.
Inilah yang sangat ia takutkan. Air mata mulai
bercucuran. Difa hanya bisa duduk menyesali perbuatannya. Ditambah lagi suara
petasan ramai pada malam itu yang seharusnya ia tengah bersenang-senang di luar
sana, yang membuatnya begitu menyesal. Ntah berapa lama ia menangis menyesal,
tidak mendengarkan ucapan teman baiknya.
Kemudian, seorang polisi datang, “Ada seorang wanita
datang, sekarang kamu bebas.”
Mendengar hal itu, Difa semakin ketakutan. Difa terus
duduk menunduk diri.
Tiba-tiba datang wanita itu, “Assalamu’alaikum.”
Debaran jantungnya semakin kencang. Ia semakin takut. Rasa
takutnya begitu luar biasa.
“Dik, ayo keluar.” Rayu wanita itu, namun tak ada
jawaban.
“Ayo keluar, kamu bebas. Nggak usah malu. Ayo!” Masih tak ada jawaban.
“Ayo, nggak
apa-apa, nggak akan dimarahin kok.”
Difa mulai menampakkan wajahnya.
“Ayo.” Rayu wanita itu.
Difa melihat wanita itu. Tak pernah ia sangka, ia
terpesona melihat wanita berjilbab itu. Parasnya yang menawan dan suaranya yang
lembut membuatnya melayang seakan melihat bidadari surga. Ditambah lagi
kerendahan hati dan pertolongan yang ia berikan, membuatnya benar-benar seperti
wanita sempurna. Wanita yang dikira
ibunya itu, ternyata adalah seorang pemudi itu. Tangisan bahagia pun tak dapat
tertahan olehnya.
Ia langsung bersujud, “Terimakasih kak, maafin aku kak,
aku sangat menyesal, benar-benar menyesal kak. Terimakasih...”
“Sudah, sudah... sekarang bangunlah. Kamu sudah tahu kan?
Sekarang saatnya kamu berubah, lembaran barumu telah terbuka. Yang telah
berlalu, biarkan berlalu. ok? Janji
ya?” Dinasehatinya dengan lembut.
“Iya kak, aku janji.” Jawabnya dengan bahagia.
Pemudi itu tersenyum manis. Kini, tak ada pikiran lain
dalam benak Difa selain ingin berubah. Rencana jahatnya itu tak ada lagi dalam
benaknya.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara adzan Subuh.
Difa dan wanita itu segera pulang ke rumahnya masing-masing.
***
Saat ia membuka pintu rumahnya, terlihat ibunya sedang
berdiri menghadapnya dengan geram. Difa langsung memeluk ibunya dengan penuh
penyesalan.
“Maafkan aku bu. Aku benar-benar menyesal. Aku tahu ibu nggak percaya ini, tapi yang penting aku
benar-benar minta maaf atas semuanya dari dulu hingga sekarang, Bu. Bu...
maafin aku.” Dipeluknya lebih erat.
Ibunya merasa aneh, tidak biasanya ia seperti ini.
“Kok kamu
begini, ada apa denganmu?” Tanya ibunya dengan heran dan tak percaya.
Ibunya langsung melepasnya. Namun Difa hanya menunduk
seperti biasa dan menuju kamarnya.
Beberapa menit setelah kedatangannya itu, ibunya mencoba
mengintip melalui celah pintu untuk melihat apa yang ia lakukan. Tak pernah ia
sangka, didapatinya pemandangan indah pada matanya. Ia langsung diam terharu melihat
apa yang anaknya lakukan. Air mata bahagia tak dapat tertahan lagi olehnya.
Kebahagiaan besar ini tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
“Terimakasih ya Allah... Anakku akhirnya bersujud
kepada-Mu. Terimakasih karena Engkau telah memberiku kebahagiaan ini. Ya Allah,
terimakasih... terimakasih banyak...”
No comments:
Post a Comment