Wednesday, January 18, 2017

Membaca Buku sebagai Perlindungan terhadap Hoax Informasi

Ketika SD, rasanya hidup ini sangat tenteram. Beruntung rasanya tidak hidup pada masa penjajahan maupun era orde baru. Tak terbayang bagaimana tenangnya hidup di masa depan.

Waktu terus berjalan. Yang dulunya hanya seorang anak kecil yang pekerjaannya hanyalah sekolah-bermain, sekarang sudah menjadi remaja yang notabennya semakin dewasa. Yang dulunya hanya seorang polos, sekarang sudah mengetahui bermacam-macam hal. Hingga akhirnya mengetahui bahwa hidup ini tidak se-tenteram yang dirasakan dahulu ketika SD. Keadaan Indonesia dan dunia saat ini dipenuhi api peperangan yang panas.


Informasi yang tertangkap melalui pengalaman adalah bahwa katanya ada paham radikalisme yang masuk menjajah Indonesia. Ada lagi katanya pembelajaran degradasi pembelajaran Pancasila. Lalu yang lebih lagi, remaja menjadi target utama. Kita yang polos awalnya tak menghiraukan masalah-masalah tersebut. Tapi pada akhirnya kita menyadari bahwa hal itu benar-benar terjadi.

Kita semua terbentuk melalui berbagai segi-segi kehidupan. Karakter menggambarkan kondisi pikiran dan hati, atau lingkungan dimana ia tinggal. Bentuk karakter kita berawal dari informasi yang diperoleh dari setiap lika-liku roda kehidupan. Panca indera menjadi jalan masuk informasi-informasi di setiap detik pengalaman. Bisa jadi, kebenaran informasi dari sumbernya sudah tidak lagi murni ketika sampai melalui jalan-jalan distribusi. Maka, memang jika radikalisme dan degradasi pembelajaran Pancasila ada, sumber informasi dan distribusi informasi yang dialami patut dipertanyakan.

Seumuran remaja, setidaknya terdapat empat sumber dan jalan informasi yang dialami, yaitu keluarga, media, sekolah, dan lingkungan/masyarakat. Semuanya memberi pengaruh dan tidak menjamin adanya informasi yang tidak mengandung suntikan paham-paham yang tak baik dan hoax.

Misalkan di sekolah, ada informasi berupa materi pelajaran. Biasanya sumbernya adalah buku. Kita mengasumsikan buku tersebut baik-baik saja. Materi itu disampaikan kepada kita melalui guru. Mungkin terkadang materi itu sampai kepada kita melalui teman. Ada juga yang memperoleh materi itu dengan membaca sendiri buku tersebut. Jadi, ada tiga jalan masuk informasi materi pelajaran di sekolah. Tiga jalan tersebut tidak menjamin keabsahan informasi yang baik itu sampai, bisa jadi ada satu jalan yang membuat informasi itu tersisipi paham-paham yang tak baik atau menjadi hoax.

Media merupakan jalan yang juga memberikan pengaruh yang signifikan, apalagi pada zaman yang penuh dengan teknologi saat ini. Suatu penelitian oleh interfidei pada tahun 2016 menyebutkan bahwa informasi terkait terorisme yang paling sering didapat melalui media berasal dari televisi dengan presentase 81,8% responden. Diikuti oleh media sosial dan surat kabar. Ini menjadikan kita perlu berhati-hati untuk percaya kepada informasi terutama yang disampaikan melalui televisi.

Membaca buku bisa menjadi alternatif untuk menghindari kesalahpahaman yang mengakibtakan kita terpengaruh paham-paham buruk. Selain menambah ilmu, luasnya wawasan dan keaslian informasi yang ada lebih menjamin daripada yang dibawakan oleh media. Masalahnya, minat baca buku di Indonesia sangat minim, dibanding minat baca media. Memang kita merasa lebih senang membuka media karena tampilannya menarik, apalagi ditambah audio atau visual efek. Akan tetapi memang juga perlu untuk membaca buku, karena dengan bertambahnya wawasan dari buku, kita menjadi lebih terbuka untuk menerima berbagai informasi dan mem-filter segala jenis informasi yang ada.

Ayo biasakan kita baca buku. Seperti dirilis oleh manfaat.co.id sedikitnya ada 15 manfaat membaca buku lho. Banyak sekali. Kurang bagus apa coba. Bukannya memaksa, hanya ayo banget, Ayo kita baca buku, as a shield against hoax,,,!

No comments: