Monday, January 2, 2017

Memurnikan Bangsa dari Pencemaran Ekstremisme-Radikalisme Agama

Suatu waktu, penulis berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa tentang negara dan agama. Seorang teman menerangkan bahwa pembelaan agama adalah mutlak. “Agama dibuat oleh Tuhan, negara dibuat oleh manusia, sekarang pilihan utama yang mana? Yang dibuat oleh Tuhan atau yang dibuat oleh manusia? Kita harus membela agama Tuhan dan memerangi siapapun yang menentangnya. Inilah perjuangan.” Lalu ada salah satu orang teman lainnya menyela, “Itu berarti agama dan negara harus satu. Supaya kita membela agama sekaligus membela negara.”

Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis dan sikap ekstrem. Sedangkan ekstremisme merupakan paham yang rela melakukan apapun untuk mencapai suatu tujuan. Ekstremisme-radikalisme secara
sederhana akan menganggap dirinya atau kelompoknya adalah yang paling benar, sedangkan yang lain patut disingkirkan. Sikap tersebut dapat memunculkan tindakan terorisme.

Doktrin Ekstrem-Radikal


Indonesia kini tengah dijajah oleh ekstremisme-radikalisme. Paham ini memecah-belah karena setidaknya membagi masyarakat menjadi dua kubu yaitu kubu pro dan kontra sehingga mengancam persatuan bangsa. Radikalisme seakan-akan sedang menyerang Bhineka Tunggal Ika. Fenomena yang memecah-belah bangsa ini seperti waktu sedang kilas balik ke zaman penjajahan dahulu saat Indonesia terpecah-belah oleh politik adu domba. Namun bedanya dengan sekarang adalah agama yang menjadi temanya.

Kita perlu mewaspadai aksi-aksi yang berbau radikal. Selain aksi-aksi yang bersifat fisik, patut diwaspadai pula penyebaran doktrin-doktrin atau paham-paham ektrem-radikal yang mampu melahirkan benih-benih ekstremisme-radikalisme agama. Hal tersebut tidak secara langsung mengancam keamanan negara, akan tetapi mampu membuat masyarakat meng-iya-kan paham tersebut sehingga masyarakat memiliki mindset yang radikal (mindset yang menyebabkan ia tidak mau menerima kehadiran orang lain yang berbeda). Sekarang, seandainya kita mencoba untuk membuka mata keluar dari lingkungan kecil ini, kita akan menyadari adanya berbagai fenomena yang merupakan benih-benih ekstremisme-radikalisme agama.

Mengkaji lebih dalam tentang doktrin ekstrem-radikal yang menyebar ke dalam masyarakat, diperoleh bahwa doktrin ini mengarahkan kepada paham yang menganggap berbeda adalah hal yang melenceng dan layak diberi tindakan. Analogi dengan tindakan kiriminal yang patut diberi hukuman. Oleh karena itu, dari satu konflik yang terjadi, dapat dijadikan kesempatan bagi kaum radikal untuk menjatuhkan pihak lawan melalui hukum Indonesia. Namun apabila terdapat hukum Indonesia yang tidak sesuai dengan hukum mereka, hukuman tidak diberikan oleh pihak berwajib. Akhirnya terdapat dua pilihan terakhir : menuntut pihak berwajib, atau tugas menghukum dikerjakannya sendiri.

Potensi Ekstremisme-Radikalisme


Semua kalangan rentan tertular paham ini. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Namun dari semua kalangan, yang paling berpotensi untuk menjadi radikal adalah remaja. Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Bahkan jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa. Hal tersebut menandakan bahwa remaja Indonesia mudah terprovokasi.
Lebih daripada itu, kita memiliki tantangan pada 2020 nanti bahwa Indonesia memperoleh bonus demografi dimana penduduk usia produktif berada dalam presentase tinggi. Tonggak perubahan bangsa berada pada tangan-tangan ini, sedangkan mereka bisa jadi terbelah menjadi dua sisi yaitu sisi radikal dan sisi non-radikal. Pilihannya adalah Indonesia semakin terpecah, atau Indonesia bersatu.

Agama dan Bhineka Tunggal Ika


Sesungguhnya di dalam agama apapun mengajarkan cinta kasih. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan akan permusuhan, hanya segelintir orang yang memelesetkannya sehingga menjadi paham baru yaitu radikal. Karena tujaun suatu agama bukanlah untuk menciptakan perpecahan, akan tetapi untuk menciptakan persatuan. Jadi, ekstremisme-radikalisme bukanlah buah dari suatu agama.
Ekstremisme-radikalisme jelas-jelas bertentangan dengan pilar Bhineka Tunggal Ika. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang mampu menciptakan Indonesia merdeka bukanlah persatuan dan kersatuan satu bangsa yang beragama sama. Akan tetapi, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang mampu menciptakan Indonesia merdeka adalah persatuan dan kesatuan satu bangsa dari berbagai latar belakang agama. Bahkan tidak hanya agama, namun juga suku, adat, dan ras. Dengan demikian ekstremisme-radikalisme juga bukan buah dari pilar Bhineka Tunggal Ika.

Dari dua kenyataan sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa ekstremisme-radikalisme agama tidak muncul dari dalam Indonesia sendiri, melainkan dari luar. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita memurnikan bangsa kita saat ia tercemar oleh benih-benih racun dari luar.

Deradikalisasi Benih-Benih Ekstremisme-Radikalisme


Karena semua kalangan mampu berpotensi menjadi radikal, maka semua kalangan juga perlu terlibat dalam melakukan deradikalisasi (sebuah langkah untuk merubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras menjadi lunak, toleran, dan pluralis) benih-benih ekstremisme-radikalisme agama. Oleh karena itu, patut kiranya peran semua pihak baik pemerintah maupun bukan pemerintah untuk meluruskan paham ekstrem-radikal yang ada. Ada banyak cara yang dapat dilakukan, namun penulis menawarkan dua cara yang diprediksi mampu bekerja lebih efektif bagi kalangan remaja dalam meluruskan paham tersebut.

Pertama, ada suatu kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh pelajar, mahasiswa, guru, maupun pemuda pada umumnya yaitu Peace Gathering. Yang dimaksud Peace Gathering disini adalah suatu kegiatan deradikalisasi yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang terdiri dari 7 sampai dengan 10 orang, dan di setiap kelompok terdapat sedikitnya satu orang mentor/penengah. Di dalamnya dilaksanakan kegiatan yang pro-aktif antara mentor dan peserta. Dengan tema perdamaian, peserta dapat diberikan penjelasan-penjelasan tentang ekstremisme-radikalisme, benih-benih ekstremisme-radikalisme, kesadaran Bhineka Tunggal Ika, kesadaran untuk membiasakan diri nyaman dengan perbedaan, cara menyikapi sesuatu supaya tidak mudah terprovokasi, dll..  Di dalam Peace Gathering, semua peserta mampu berbagi tanpa ada rasa canggung. Selain itu, antara mentor dan peserta memiliki kedekatan yang lebih, sehingga Peace Gathering ini mampu menyampaikan pesan-pesan lebih mengena.

Kedua, remaja adalah penduduk terbesar dunia maya. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika RI pada tahun 2014, usia 18-25 tahun menduduki peringkat pertama pengguna internet dengan persentae 49,00% dari seluruh usia. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi apabila kita dapat mengaksesnya untuk meluruskan paham tersebut. Pemerintah tengah bekerja untuk memblokir situs-situs yang menyebarkan konten-konten berbau radikalisme. Tidak cukup kiranya bila hanya pemerintah saja yang bekerja keras melawan radikalisme. Patut kiranya bagi kalangan yang lain untuk turut andil dalam hal ini. Tidak sulit untuk menyebarkan pesan deradikalisasi melalui media sosial. Melalui gadget-gadget maupun alat elektronik lainnya, setiap orang dapat saling berbagi pesan-pesan yang dibuatnya sendiri maupun yang telah dibuat oleh orang lain baik berupa tulisan, gambar, maupun video.

Waktunya Bersatu dan Beraksi


Seindah apapun essay yang tertulis ini, tidak akan mampu meluruskan paham ekstrem-radikal yang ada apabila tidak dibarengi dengan aksi nyata. Sehebat apapun strategi yang dicanangkan, tidak akan berhasil seandainya tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita semua untuk segera take action dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari ekstremisme-radikalisme agama ini. Apabila kita bercermin pada masa lalu, Indonesia mampu merdeka karena semua golongan – dalam latar belakang suku, budaya dan agama – bersatu. Sebagaimana pula kita bercermin pada masa lalu, seluruh kalangan sangat perlu bersatu dan beraksi untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka dari penjajahan ekstremisme-radikalisme agama.





Referensi :

Anonim, 2015, Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila : Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kawasan Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (3T), Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Anonim, 2014, Persentase Pengguna Internet Berdasarkan Usia Tahun 2014, http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=424&iddoc=1321&data-data_page=3, diakses pada 12 Desember 2016.

Damayanti N. P., Thayibi I., Gardhiani L. A., Limy I., 2003, Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang, Jurnal Kriminologi Indonesia, 3, 1, 43-57.

Hasani I., 2011, Penguatan Pancasila Harus Dimulai dari Negara, Reformata, 140.

Lestari S., 2016, Anak-anak Muda Indonesia Makin Radikal?, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_anak_muda, diakses pada 12 Desember 2016.

No comments: