Di suatu desa, hidup seorang saudagar kaya bernama Tamir. Ia kaya karena ia menyimpan hartanya setelah musim panen bulan-bulan lalu. Hidupnya begitu mewah. Ia sibuk mengurusi pekerjaan dan harta miliknya. Namun keadaan batinnya tidak seperti kondisi kekayaannya.
Ia mencari obat penyembuh untuk batinnya,
bertanya-tanya, hingga akhirnya seseorang menyarankan supaya ia pergi ke suatu rumah yang berada di atas bukit untuk menemui seorang kakek yang dikenal begitu bijaksana. Akhirnya ia pergi untuk menemui kakek tersebut.
bertanya-tanya, hingga akhirnya seseorang menyarankan supaya ia pergi ke suatu rumah yang berada di atas bukit untuk menemui seorang kakek yang dikenal begitu bijaksana. Akhirnya ia pergi untuk menemui kakek tersebut.
Setiba di rumah kakek itu, Tamir menceritakan segala masalah dan keluh
kesahnya kepada si kakek. Si kakek menunjukkan sepiring makanan, “Saya memiliki
ini, bagaimana pendapat Tuan tentang makanan ini?” Tamir berkata, “Itu makanan
yang siat murah, saya tidak terbiasa dengan makanan yang murah.” Kemudian si
kakek bertanya, “Berapa Tuan mengonsumsi harta anda dalam sehari?” “Tiga ratus
ribu rupiah.” Si kakek kemudian berkata, “Jika Tuan ingin bahagia, bagikanlah
harta Tuan kepada semua orang.” Tamir menyanggah, “Lalu bagaimana untuk saya?”
“Tuan cukup menyediakan sembilan ribu rupiah untuk hari ini.” Jawab si kakek.
Tamir terus melakukan negosiasi dengan si kakek. Akhirnya si kakek
berpesan, “Kalau Tuan ingin bahagia, lakukanlah, jika tidak, Tuan telah
membuang waktu untuk datang ke sini.”
Tamir mengabaikan pesan si kakek. Ia menyesal untuk datang ke sana.
Namun suatu saat ia memutuskan untuk membagikan semua hartanya karena tidak
tahan ingin melepaskan bebannya dan hidup bahagia.
Di kemudian harinya, Tamir membagikan seluruh hartanya kepada semua
orang di desanya. Untuk dirinya disisakan sembilan ribu rupiah. Orang-orang
begitu bahagia menerima pemberiannya.
Hari pertama ia jalani tanpa kemewahan. Tamir merasa tidak nyaman,
gelisah. Lalu ia mendatangi si kakek itu. “Kapan aku bahagia kalau seperti
ini?” “Tunggu saja.”
Hari kedua, ia merasa tersiksa dengan keadaannya. Lalu ia mendatangi si
kakek itu untuk ke tiga kalinya. “Aku justru menderita dengan keadaan seperti
ini.” Kakek itu terus saja menjawab, “Tunggu saja.”
Dengan keadaan yang menyiksa dirinya, ia sudah tidak kuat lagi
menanggung keadaan seperti itu. Di hari ketiga, ia mendatangi kakek itu dan
mengatakan, “Aku tidak sanggup lagi, aku pasrah, katakan saja kapan aku bisa
bahagia?” Si Kakek berbalik bertanya, “Berapa tuan menghabiskan harta tuan
sekarang?” “Tiga ribu rupiah setiap hari, dan sekarang tidak ada sepeserpun.”
Si Kakek terus bertanya-tanya hingga Tamir tidak tahan akan pertanyaan si
Kakek. “Katakan saja bagaimana aku bahagia, tolonglah.” Lagi, Kakek itu bertanya untuk yang terakhir
kalinya, “Apakah anda lapar?” “Lapar sekali, aku tidak kuat.” “Masuklah ke
rumah, saya telah menyiapkan makanan untuk anda, ini hadiah untuk Tuan.”
Tamir begitu bahagia menerima hadiah tersebut. Tamir dan si Kakek itu
masuk ke dalam rumah dan makan bersama. Rasa lapar yang menyerangnya membawa ia
makan dengan lahapnya. Rasa derita yang ia rasakan sebelumnya terbalikkan
menjadi rasa bahagia yang luar biasa.
Akhirnya Tamir mengerti betapa mudahnya hidup bahagia, ia tidak perlu
menumpuk harta begitu banyak. Sejak hari itu, ia menjalani hidup dengan
sederhana. Bahkan hampir setiap hari ia berbagi sesuatu kepada tetangganya.
Baginya sekarang, hidup sederhana adalah satu-satunya cara memperoleh
kebahagiaan.
“Dengan hidup mewah, Tuan akan sulit mensyukuri hal-hal kecil. Namun
dengan hidup sederhana, Tuan akan mensyukuri semua hal walaupun kecil.”
*pesan
cerita ini berasal dari ceramah seorang anggota Jemaat di Indonesia
No comments:
Post a Comment