Program Tahrik
Jadid bukanlah sekedar program mengisi perjanjian dan melunasinya. Pada awal
dibentuknya program ini oleh Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a.,
Jemaat Ahmadiyah berada dalam keadaan yang genting, pihak luar sedang
gencar-gencarnya membubarkan Ahmadiyah. Di tengah kepungan yang luar biasa,
Jemaat Ahmadiyah justru memulai upaya besar dalam menyebarkan ajarannya. Dalam
program ini dicanangkan berbagai tuntutan untuk hidup sederhana, mengorbankan
harta, mewaqafkan waktu untuk jemaat, dll. Tuntutan tersebut demikian
pentingnya bagi terbiyat, kemajuan ruhani dan peningkatan standar pengorbanan.
Dari sekian tuntutan, hal yang menjadi dasar program ini adalah pengorbanan dan
hidup sederhana.
“Tahrik Jadid itu bukan hanya identik dengan
pengorbanan harta sebagai modal untuk melancarkan pertablighan di seluruh dunia
belaka. Melainkan Tahrik Jadid itu merupakan
suatu rencana yang dampaknya menjadi nasihat bagi seluruh ahmadi agar secara amalan membelakangi kemudahan-kemudahan hidup, dan agar jangan tenggelam di dalam kelezatan-kelezatan duniawi. Sejauh batas taufik yang ada, hendaknya menjalani hidup dengan sederhana serta meninggalkan dunia foya-foya dan hendaknya segenap perhatian ditujukan kepada pengkhidmatan terhadap agama.”
suatu rencana yang dampaknya menjadi nasihat bagi seluruh ahmadi agar secara amalan membelakangi kemudahan-kemudahan hidup, dan agar jangan tenggelam di dalam kelezatan-kelezatan duniawi. Sejauh batas taufik yang ada, hendaknya menjalani hidup dengan sederhana serta meninggalkan dunia foya-foya dan hendaknya segenap perhatian ditujukan kepada pengkhidmatan terhadap agama.”
(Petunjuk Teknis
Tahrik Jadid dan Perjanjian Pengorbanan Lainnya, hal. 5, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 2007)
Hidup sederhana
berarti melepas diri dari kehidupan berfoya-foya. Hidup sederhana dapat diperoleh
dengan mengorbankan segala hal yang menjurus kepada kefoya-foyaan. Yang
dimaksud kefoya-foyaan ialah membuang kekayaan untuk hal-hal yang percuma.
Orang yang sangat cukup dalam hidupnya, kemudian ia malah hidup dibawah tingkat
kecukupan yang sebenarnya ia mampu, ini yang dinamakan hidup sederhana. Ketika
orang memiliki harta sehingga ia mampu memiliki pakaian mewah, namun ia tidak
membeli pakaian mewah, justru membeli pakaian yang biasa, itulah hidup
sederhana.
Taraf sederhana
tertinggi yang perlu kita teladani adalah Rasulullah s.a.w.. Beliau s.a.w.
begitu sederhana. Tidur beralaskan pelepah kurma, berpakaian apa adanya,
sampai-sampai beliau tidak dapat menunaikan zakat karena apa yang diterima
olehnya langsung dibagikan kepada para sahabat.
Yang menjadi
pertanyaan ialah, apakah Rasulullah s.a.w. memang begitu miskin? Kalau kita
melihat istri beliau, Hadhrat Khadijah r.a., beliau adalah pedagang yang kaya.
Ini bukan berarti Rasulullah tidak berpotensi menjadi orang yang kaya raya.
Namun beliau secara sengaja ingin hidup sederhana. Jadi, hidup sederhana adalah
sebuah kehendak.
Alasan yang
jelas dikemukakan oleh Al-Qur’an yang menyatakan :
“Telah
melalaikan kamu bermegah-megahan” (Q.S. At-Takatsur : 2)
sehingga Rasulullah s.a.w. pernah bersabda :
“Kalau begitu, bergembiralah dan berharaplah memperoleh
sesuatu yang melapangkan diri kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi,
aku kahwatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia
dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba
sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka
hancur.”
(Hadits riwayat Muslim (2961),
al-Bukhari (6425), dan Ibnu Abi Ad-Dunya, kitab
tentang Zuhud hal. 73)
Teladan kedua
adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Beliau bukanlah keturunan orang yang
tidak mampu. Bahkan keluarganya adalah kaum bangsawan. Namun beliau tetap berkehendak
untuk menjadi orang yang begitu sederhana.
Suatu ketika, setelah berwudhu sebelum shalat, beliau
meminta tolong seorang anak putri tuan rumah untuk mengambilkan peci capnya
yang terlupa ketinggalan di kamar berwudhu tadi. Putri itu masuk, mencari-cari,
tetapi hanya melihat sebuah peci tua yang ia yakin pasti bukan peci beliau.
Ia balik dan melapor bahwa pecinya tidak berada di
sana. Beliau mengatakan bahwa ia yakin pecinya tertinggal di sana. Tiga kali si
putri itu masuk dan mencari, setiap kali tidak melapor tentang peci tua tadi.
Akhirnya, putra Ahmad sendiri yang masuk dan segera kembali membawa peci tua
itu. Ia tidak pernah membayangkan, sip uteri itu bercerita kepada temannya,
bahwa beliau memiliki peci tua semacam itu.
Beliau menganggap kesederhanaan adalah perilaku yang
utama. “Bagiku orang-orang yang menjalani hidup sederhana adalah sangat
berharga.” Sabda beliau. “Kesalehan dan sengan kemewahan tidak dapat berjalan
seiring.”
(Mirza Ghulam
Ahmad dari Qadian, oleh Iain Adamson, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2010)
Saat kita
memiliki banyak hal, pikiran kita terbagi untuk hal-hal tersebut. Namun, saat
kita memiliki lebih sedikit hal, pikiran kita menjadi lebih terfokus. Sebagai
contoh adalah ketika kita memiliki harta yang sangat banyak, kita akan
memikirkan bagaimana caranya menggunakan harta ini dengan sebaik-baiknya,
sehingga hati kita menjadi gelisah. Pikiran kita akan lebih sedikit ketika
memiliki harta yang cukup.
Nah, di saat
pikiran kita lebih sedikit terhadap hal-hal duniawi, kita akan lebih terfokus
pada hal-hal rohaniah. Dan ini akan membuat hati kita menjadi tentram. Semua
urusan akan mengalami kemudahan dan karunia Tuhan akan mudah diperoleh.
Hidup
berfoya-foya ibarat kita memakan makanan terlalu banyak sehingga menimbulkan
penyakit. Membuang kefoya-foyaan, sama dengan kita membuang kotoran sehingga
diri kita bersih dari penyakit. Dengan diri yang bersih dan suci ini, kita
mampu menjadi lebih dekat dengan Allah s.w.t.. Dengan demikian, buah termanis
dari kehidupan yang sederhana adalah ketentraman hati dan kedekatan dengan
Tuhan.
Jemaat terus
berkembang, kitalah sebagai ahmadi yang membutuhkan Jemaat, bukan Jemaat yang
membutuhkan kita. Ahmadi yang sederhana dan terus berkorban lah yang diharapkah
oleh Jemaat. Menjadi ahmadi yang sederhana dan terus berkorban menghasilkan
buah-buah manis bagi jasmani dan rohani. Oleh karena itu, marilah kita
menjalani hidup dengan sederhana dan terus meningkatkan pengorbanan kita untuk
jemaat.
No comments:
Post a Comment