Minggu, 30 Oktober 2016

Sederhana Menarik Ketentraman

Program Tahrik Jadid bukanlah sekedar program mengisi perjanjian dan melunasinya. Pada awal dibentuknya program ini oleh Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a., Jemaat Ahmadiyah berada dalam keadaan yang genting, pihak luar sedang gencar-gencarnya membubarkan Ahmadiyah. Di tengah kepungan yang luar biasa, Jemaat Ahmadiyah justru memulai upaya besar dalam menyebarkan ajarannya. Dalam program ini dicanangkan berbagai tuntutan untuk hidup sederhana, mengorbankan harta, mewaqafkan waktu untuk jemaat, dll. Tuntutan tersebut demikian pentingnya bagi terbiyat, kemajuan ruhani dan peningkatan standar pengorbanan. Dari sekian tuntutan, hal yang menjadi dasar program ini adalah pengorbanan dan hidup sederhana.

“Tahrik Jadid itu bukan hanya identik dengan pengorbanan harta sebagai modal untuk melancarkan pertablighan di seluruh dunia belaka. Melainkan Tahrik Jadid itu merupakan
suatu rencana yang dampaknya menjadi nasihat bagi seluruh ahmadi agar secara amalan membelakangi kemudahan-kemudahan hidup, dan agar jangan tenggelam di dalam kelezatan-kelezatan duniawi. Sejauh batas taufik yang ada, hendaknya menjalani hidup dengan sederhana serta meninggalkan dunia foya-foya dan hendaknya segenap perhatian ditujukan kepada pengkhidmatan terhadap agama.”
(Petunjuk Teknis Tahrik Jadid dan Perjanjian Pengorbanan Lainnya, hal. 5, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2007)

Hidup sederhana berarti melepas diri dari kehidupan berfoya-foya. Hidup sederhana dapat diperoleh dengan mengorbankan segala hal yang menjurus kepada kefoya-foyaan. Yang dimaksud kefoya-foyaan ialah membuang kekayaan untuk hal-hal yang percuma. Orang yang sangat cukup dalam hidupnya, kemudian ia malah hidup dibawah tingkat kecukupan yang sebenarnya ia mampu, ini yang dinamakan hidup sederhana. Ketika orang memiliki harta sehingga ia mampu memiliki pakaian mewah, namun ia tidak membeli pakaian mewah, justru membeli pakaian yang biasa, itulah hidup sederhana.

Taraf sederhana tertinggi yang perlu kita teladani adalah Rasulullah s.a.w.. Beliau s.a.w. begitu sederhana. Tidur beralaskan pelepah kurma, berpakaian apa adanya, sampai-sampai beliau tidak dapat menunaikan zakat karena apa yang diterima olehnya langsung dibagikan kepada para sahabat.

Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah Rasulullah s.a.w. memang begitu miskin? Kalau kita melihat istri beliau, Hadhrat Khadijah r.a., beliau adalah pedagang yang kaya. Ini bukan berarti Rasulullah tidak berpotensi menjadi orang yang kaya raya. Namun beliau secara sengaja ingin hidup sederhana. Jadi, hidup sederhana adalah sebuah kehendak.

Alasan yang jelas dikemukakan oleh Al-Qur’an yang menyatakan :

“Telah melalaikan kamu bermegah-megahan” (Q.S. At-Takatsur : 2)

sehingga Rasulullah s.a.w. pernah bersabda :

“Kalau begitu, bergembiralah dan berharaplah memperoleh sesuatu yang melapangkan diri kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku kahwatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” 
(Hadits riwayat Muslim (2961), al-Bukhari (6425), dan Ibnu Abi Ad-Dunya, kitab tentang Zuhud hal. 73)

Teladan kedua adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Beliau bukanlah keturunan orang yang tidak mampu. Bahkan keluarganya adalah kaum bangsawan. Namun beliau tetap berkehendak untuk menjadi orang yang begitu sederhana.

Suatu ketika, setelah berwudhu sebelum shalat, beliau meminta tolong seorang anak putri tuan rumah untuk mengambilkan peci capnya yang terlupa ketinggalan di kamar berwudhu tadi. Putri itu masuk, mencari-cari, tetapi hanya melihat sebuah peci tua yang ia yakin pasti bukan peci beliau.
Ia balik dan melapor bahwa pecinya tidak berada di sana. Beliau mengatakan bahwa ia yakin pecinya tertinggal di sana. Tiga kali si putri itu masuk dan mencari, setiap kali tidak melapor tentang peci tua tadi. Akhirnya, putra Ahmad sendiri yang masuk dan segera kembali membawa peci tua itu. Ia tidak pernah membayangkan, sip uteri itu bercerita kepada temannya, bahwa beliau memiliki peci tua semacam itu.
Beliau menganggap kesederhanaan adalah perilaku yang utama. “Bagiku orang-orang yang menjalani hidup sederhana adalah sangat berharga.” Sabda beliau. “Kesalehan dan sengan kemewahan tidak dapat berjalan seiring.”
(Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, oleh Iain Adamson, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2010)

Saat kita memiliki banyak hal, pikiran kita terbagi untuk hal-hal tersebut. Namun, saat kita memiliki lebih sedikit hal, pikiran kita menjadi lebih terfokus. Sebagai contoh adalah ketika kita memiliki harta yang sangat banyak, kita akan memikirkan bagaimana caranya menggunakan harta ini dengan sebaik-baiknya, sehingga hati kita menjadi gelisah. Pikiran kita akan lebih sedikit ketika memiliki harta yang cukup.

Nah, di saat pikiran kita lebih sedikit terhadap hal-hal duniawi, kita akan lebih terfokus pada hal-hal rohaniah. Dan ini akan membuat hati kita menjadi tentram. Semua urusan akan mengalami kemudahan dan karunia Tuhan akan mudah diperoleh.

Hidup berfoya-foya ibarat kita memakan makanan terlalu banyak sehingga menimbulkan penyakit. Membuang kefoya-foyaan, sama dengan kita membuang kotoran sehingga diri kita bersih dari penyakit. Dengan diri yang bersih dan suci ini, kita mampu menjadi lebih dekat dengan Allah s.w.t.. Dengan demikian, buah termanis dari kehidupan yang sederhana adalah ketentraman hati dan kedekatan dengan Tuhan.



Jemaat terus berkembang, kitalah sebagai ahmadi yang membutuhkan Jemaat, bukan Jemaat yang membutuhkan kita. Ahmadi yang sederhana dan terus berkorban lah yang diharapkah oleh Jemaat. Menjadi ahmadi yang sederhana dan terus berkorban menghasilkan buah-buah manis bagi jasmani dan rohani. Oleh karena itu, marilah kita menjalani hidup dengan sederhana dan terus meningkatkan pengorbanan kita untuk jemaat.

Tidak ada komentar: